Saat Hukum Diam, Korban Menjerit: Satreskrim Unit I Polres Batang Dikritik Tak Serius Tangani Kasus Penganiayaan

SOROTAN HUKUM12 Dilihat

 

SIBAYGROUPKOMUNIKA.COM.//Batang – F, seorang warga RT 02/RW 03 Desa Depok, Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang, barangkali tak pernah menyangka bahwa mencari keadilan di negeri sendiri bisa sesulit ini. Setelah menjadi korban dugaan penganiayaan hingga mengalami patah tulang hidung, ia melaporkan kasus tersebut ke Polres Batang pada 22 Juni 2025 dengan nomor SL Lidik/288/VI/2025/Reskrim. Namun, lebih dari tiga bulan berlalu, tak ada kejelasan, tak ada progres. Yang ada hanyalah diam dan ketidakpastian.

 

Unit I Satreskrim Polres Batang, yang seharusnya menjadi garda terdepan penegakan hukum, justru terlihat acuh dan lamban, bahkan nyaris tak memberi ruang harapan bagi korban. Laporan resmi telah diterima, visum dilakukan, bukti awal cukup kuat – tetapi entah mengapa, langkah hukum terkesan jalan di tempat.

 

“Jangan-jangan kantor polisi sekarang lebih cocok disebut tempat penitipan laporan, bukan tempat mencari keadilan,” sindir tajam pimpinan gerakan Suara Masyarakat, yang sejak awal mengawal kasus ini.

 

Keadilan Masih Harus Diketuk, Tapi Pintu Hukum Tak Pernah Dibuka

 

Masyarakat mencatat bahwa penganiayaan berat sesuai Pasal 351 ayat (2) KUHP adalah tindak pidana serius. Dengan ancaman penjara hingga 5 tahun, semestinya kasus ini menjadi prioritas untuk dituntaskan. Tetapi faktanya, waktu terus berjalan tanpa arah, seolah korban hanya sedang menulis di atas air.

 

“Kalau kasus jelas seperti ini saja tidak ditangani serius, bagaimana dengan kasus yang lebih rumit? Atau hukum hanya bergerak cepat kalau korbannya terkenal dan viral?” tambahnya, menyentil realitas penegakan hukum yang dianggap tebang pilih.

 

Satreskrim, Jangan Jadi Penonton di Tengah Derita Korban

 

Kritik keras pun tak bisa dihindari. Unit I Satreskrim Polres Batang dinilai gagal menunjukkan keseriusan dan profesionalitasnya. Di tengah sorotan publik terhadap reformasi kepolisian, kasus seperti ini justru memperparah citra institusi. Alih-alih hadir sebagai pelindung masyarakat, polisi justru tampak menjadi penonton pasif dalam penderitaan korban.

 

“Harusnya polisi bergerak cepat tanpa menunggu tekanan publik. Tapi di sini, suara korban seperti berbisik di tengah keramaian – tak ada yang mendengar, apalagi peduli,” ucap aktivis lain dari Suara Masyarakat.

 

Harapan Terakhir: Jangan Biarkan Kepercayaan Rakyat Mati Pelan-pelan

 

Masyarakat kini hanya bisa berharap, bukan kepada keajaiban, tetapi kepada hati nurani aparat yang masih percaya bahwa hukum adalah alat untuk melindungi yang lemah, bukan menyelamatkan yang kuat. Bila tidak, lambat laun, laporan ke polisi akan dianggap sama seperti menulis surat ke angin: tak pernah sampai, tak pernah dijawab.

 

“Kami tidak minta istimewa, kami hanya minta hukum ditegakkan. Kalau polisi pun sudah tidak bisa dipercaya, kepada siapa lagi rakyat mengadu?” pungkas pimpinan Suara Masyarakat. Red – tri septa